Total Tayangan Halaman

13,141

Senin, 11 Juli 2011

Jusuf Kunto

Mantan Pilot Tentara Jepang yang Menjadi Pejuang Indonesia

Jusuf Kunto lahir di Salatiga pada tanggal 8 Agustus 1921. Jusuf Kunto sebenarnya bernama asli Kunto. Namanya berubah menjadi Jusuf Kunto sejak tahun 1937, diambil dari nama depan keluarga kakak sepupunya, Mr. Jusuf Suwondo. Jusuf Kunto merupakan salah satu tokoh yang ikut menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945. Dia bersama Sukarni dan beberapa anggota PETA yang menjemput dan membawa Soekarno dan Hatta menuju Rengasdengklok.
Jusuf Kunto pernah tinggal di Pangkalpinang, Bangka, karena ia mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai mantra kesehatan di Tambang Timah Bangka. Ia menempuh pendidikan formalnya di Hollandsch Chinesche School, sekolah khusus untuk orang-orang keturunan Cina. Perkenalannya dengan kaum pergerakan Indonesia dimulai ketika ia bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang pada tahun 1933. Ia pernah menusuk seorang polisi Belanda yang ingin menangkapnya karena ia sering melakukan pertemuan-pertemuan dengan para kaum pergerakan lainnya.
Sebelum menjadi tokoh pejuang muda di Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Jusuf Kunto pernah menjadi seorang tentara Jepang. Hal itu bermula ketika ia diselundupkan ke Jepang karena ia menjadi buronan Politieke Inlichting Dienst (PID), polisi dinas keamanan negara. Di Jepang, ia menyelesaikan studinya di Politeknik Waseda University, Tokyo. Ia merupakan rombongan terakhir pemuda-pemuda Jepang yang direkrut menjadi pilot pesawat tempur Jepang di California, Amerika Serikat. Bahkan ia pernah masuk dalam skuadron pesawat tempur Jepang dan juga pernah ikut menyerang kepulauan Hawaii dan beberapa kepulauan lainnya di wilayah Pasifik. Ia juga pernah terlibat dalam tugas pengintaian dan pemboman Port Moresby, Papua Nugini. Karir militernya bersama pasukan udara Jepang harus terhenti ketika pesawat yang ditumpanginya tertembak saat terjadi pertempuran udara di Morotai dan Halmahera, Maluku. Jusuf Kunto menderita cukup parah dan harus dibawa ke Jakarta untuk dirawat di RS Cipto Mangunkusumo.
Ketika dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, ia mulai menjalin hubungan baik dengan para pejuang Indonesia yang sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran di Jakarta. Salah satu kenalannya dan kemudian menjadi istrinya adalah Prof. dr. Murtiningrum, anak Kunto Tjokrowidagdo, seorang pegawai tinggi Perumka saat itu.
Jusuf Kunto akhirnya disersi sebagai tentara Jepang dan membantu perjuangan pemuda Indonesia secara sembunyi-sembunyi. Tahun 1944, ia pernah memasok satu kompi amunisi dan senjata untuk para pemuda di Bandung dan melatih mereka. Ia juga sangat pintar dalam memecahkan sandi tentara Jepang karena pengalaman dan kemampuan yang ia dapat selama ia bergabung bersama tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Jusuf Kunto bergabung bersama Badan Keamanan Rakyat. Ia lebih memilih terjun dalam bidang intelijen bersama dengan Zulkifli Lubis. Ia pun pernah menjadi Staf Oemoem I (SO I) pada Markas Besar Tentara (MBT) di Benteng Vredenburg, Yogyakarta. Jusuf Kunto saat itu berpangkat mayor. Mayor Jusuf Kunto sempat memindahkan markas daruratnya dari Yogyakarta ke Pakem pada saat sebelum Agresi Militer Belanda. Ia melakukan penyamaran ketika itu untuk dapat menyampaikan informasi atau bahan obat-obatan serta beberapa kebutuhan lainnya untuk para pejuang di Yogyakarta.
Jusuf Kunto meninggal dunia pada 2 Januari 1949 akibat kelelahan dan sakit radang paru-paru serta kurangnya bantuan medis terhadap dirinya. Saat itu usianya belum genap 28 tahun. Ia akhirnya dimakamkan di pemakaman umum Badran, yang terletak di dekat sebuah kuburan Cina di sebelah barat Stasiun Tugu, Yogyakarta.
Perjuangan Jusuf Kunto dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI memang sangat jarang diungkap secara lebih jelas. Padahal menurut Maroeto Nitimihardjo, salah seorang tokoh pemuda pada masa sekitar proklamasi, Jusuf Kunto adalah seorang tokoh pemuda yang diberi tugas ke sana-kemari, termasuk membawa Soekarno dan Hatta ke Rengas Dengklok lalu membawanya sampai esok subuh ke rumah Laksamana Maeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar