Total Tayangan Halaman

Senin, 11 Juli 2011

Charles Goodyear


Ilmuan yang Tidak Bisa Menikmati Hasil Temuannya 

“Seorang pria memiliki alasan untuk menyesal hanya bila ia menabur dan tidak ada yang menuai”

Kata-kata Charles Goodyear di atas mungkin dapat menggambarkan kehidupannya selama ia menjadi ilmuan. Ia harus menerima kenyataan bahwa ia adalah salah seorang penemu yang tidak dapat menikmati hasil dari temuannya. Hal itu terjadi karena hasil penemuannya telah dibajak oleh orang lain. Ia pun meninggal dalam keadaan yang miskin sekali dan terlilit hutang sebesar $200 ribu.
                 Charles Goodyear lahir pada tanggal 29 Desember 1800 di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat. Ia adalah seorang penemu vulkanisasi (proses kimia untuk memperbaiki mutu karet dengan cara mencampur dengan belerang dan memanaskannya). Goodyear mengarang sebuah buku tentang penenmuannya yang terdiri dari 2 jilid dan berjudul Kekenyalan Karet dan Variasinya (1853-1855).
Cita-cita pada saati ia masih remaja adalah menjadi seorang pendeta. Tetapi, ayahnya memilki perusahaan kecil yang memproduksi barang-barang dari besi seperti cangkul, sabit, gergaji engsel pintu dan lainnya. Ketika ia berumur 21 tahun, ia bekerja sebagai karyawan ayahnya. Ia menikah pada umur 24 tahun dengan Clarissa Becher. Dari pernikahannya, Goodyear dikaruniai 7 orang anak. Kehidupan Goodyear sangatlah miskin sehingga ia terpaksa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara meminjam uang dan meminta makanan ke tetangga serta teman-temannya.  Akhirnya, ia harus dipenjara karena tidak bisa melunasi hutang-hutangnya.
                Pada tahun 1830 dunia sedang mengalami demam karet dan empat tahun kemudian Charles pun tertarik menggeluti dunia karet. Pada waktu itu, ada beberapa perusahaan karet yang memproduksi jas hujan, karet dan selang air karet. Tetapi, cuaca di Amerika sering berubah. Pada musim panas, karet biasanya menjadi lekat, lunak dan kehilangan bentuknya yang semula. Sedangkan pada musim dingin karet itu menjadi kaku dan rapuh. Ia pun berusaha untuk mengatasi sifat buruk dari karet yang tidak tahan terhadap pergantian musim. Berbagai eksperimen pun dilakukan selama tiga tahun. Namun, tetap tidak menemukan hasil. Eksperimen tersebut dilakukannya di dalam penjara. Setelah bebas dari penjara, ia berhutang lagi kepada salah satu temannya untuk melanjutkan eksperimennya. Pada tahun 1837, ia bertemu dengan Nathaniel M. Hayward (1808-1865), bekas karyawan pabrik karet Roxbury. Hayward juga membuat eksperimen dan berhasil menemukan bahwa karet yang dicampurkan belerang tidak akan lekat pada musim panas.
                Pada suatu hari, secara kebetulan Goodyear menjatuhkan campuran karet dan belerang ke atas tungku api yang panas. Karena campurannya tidak meleleh, ia pun menjadi sangat heran. Esok harinya, ia dibuat heran lagi karena campuran tersebut berubah menjadi dingin. Campuran tersebut menjadi kedap air, kenyal dan kedap udara. Ketika dipanaskan lagi, karet tersebut menjadi tidak lekat, lunak dan berubah setelah secara kebetulan Goodyear menemukan vulkanisasi. Vulkanisasi berasal dari kata Vulkan, yaitu dewa api dalam agama orang Romawi.
                Pada mulanya, Goodyear menamakan penemuannya, karet tahan api. Ia menemukan vulkanisasi pada tahun 1839. Karena proses vulkanisasi begitu sederhana, penemuan Goodyear pun dibajak oleh orang lain. Ia pun harus banyak berhutang untuk memerangi para pembajak yang jumlahnya sekitar 600 orang. Pada tahun 1844, ia akhirnya mendapatkan hak paten dari penemuannya. Tetapi, kemenangan terakhirnya melawan pembajak harus didapatkannya setelah berjuang selama 13 tahun, yaitu antara tahun 1839 sampai dengan tahun 1852. Pada tahun 1851, ia meminjam uang sebesar $30.000 untuk mengadakan pameran internasional di London. Ia memamerkan kursi karet, meja karet, permadani karet dan buku yang terbuat dari karet serta perhiasan dari karet. Empat tahun kemudian, Goodyear meminjam uang lagi sebesar $50.000 untuk mengadakan pameran yang sama di Paris. Bahkan ia mendirikan pabrik karet di Perancis, namun pabrik tersebur mengalami kebangkrutan. Ia pun ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara akibat tidak dapat melunasi hutang-hutangnya.
                Setelah keluar dari penjara dan kembali ke Amerika Serikat, ia meminjam uang lagi untuk mendirikan pabrik karet yang divulkanisir. Ia berharap produksi pabriknya laku keras dan menghasilkan banyak keuntungan. Tapi, para pembajak hasil karyanya ikut berlomba mendirikan pabrik dengan produksi yang sama juga. Sebelum menikmati hasil temuannya, Goodyear pun meninggal dunia pada tanggal 1 Juli 1860 di usianya yang ke-60. Orang lain yang membajak hasil karyanya hidup dengan menikmati keuntungan yang berlimpah-limpah. Atas jasanya, nama Charles Goodyear diabadikan sebagai nama perusahaan karet terbesar di Amerika Serikat


Jusuf Kunto

Mantan Pilot Tentara Jepang yang Menjadi Pejuang Indonesia

Jusuf Kunto lahir di Salatiga pada tanggal 8 Agustus 1921. Jusuf Kunto sebenarnya bernama asli Kunto. Namanya berubah menjadi Jusuf Kunto sejak tahun 1937, diambil dari nama depan keluarga kakak sepupunya, Mr. Jusuf Suwondo. Jusuf Kunto merupakan salah satu tokoh yang ikut menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945. Dia bersama Sukarni dan beberapa anggota PETA yang menjemput dan membawa Soekarno dan Hatta menuju Rengasdengklok.
Jusuf Kunto pernah tinggal di Pangkalpinang, Bangka, karena ia mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai mantra kesehatan di Tambang Timah Bangka. Ia menempuh pendidikan formalnya di Hollandsch Chinesche School, sekolah khusus untuk orang-orang keturunan Cina. Perkenalannya dengan kaum pergerakan Indonesia dimulai ketika ia bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang pada tahun 1933. Ia pernah menusuk seorang polisi Belanda yang ingin menangkapnya karena ia sering melakukan pertemuan-pertemuan dengan para kaum pergerakan lainnya.
Sebelum menjadi tokoh pejuang muda di Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Jusuf Kunto pernah menjadi seorang tentara Jepang. Hal itu bermula ketika ia diselundupkan ke Jepang karena ia menjadi buronan Politieke Inlichting Dienst (PID), polisi dinas keamanan negara. Di Jepang, ia menyelesaikan studinya di Politeknik Waseda University, Tokyo. Ia merupakan rombongan terakhir pemuda-pemuda Jepang yang direkrut menjadi pilot pesawat tempur Jepang di California, Amerika Serikat. Bahkan ia pernah masuk dalam skuadron pesawat tempur Jepang dan juga pernah ikut menyerang kepulauan Hawaii dan beberapa kepulauan lainnya di wilayah Pasifik. Ia juga pernah terlibat dalam tugas pengintaian dan pemboman Port Moresby, Papua Nugini. Karir militernya bersama pasukan udara Jepang harus terhenti ketika pesawat yang ditumpanginya tertembak saat terjadi pertempuran udara di Morotai dan Halmahera, Maluku. Jusuf Kunto menderita cukup parah dan harus dibawa ke Jakarta untuk dirawat di RS Cipto Mangunkusumo.
Ketika dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, ia mulai menjalin hubungan baik dengan para pejuang Indonesia yang sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran di Jakarta. Salah satu kenalannya dan kemudian menjadi istrinya adalah Prof. dr. Murtiningrum, anak Kunto Tjokrowidagdo, seorang pegawai tinggi Perumka saat itu.
Jusuf Kunto akhirnya disersi sebagai tentara Jepang dan membantu perjuangan pemuda Indonesia secara sembunyi-sembunyi. Tahun 1944, ia pernah memasok satu kompi amunisi dan senjata untuk para pemuda di Bandung dan melatih mereka. Ia juga sangat pintar dalam memecahkan sandi tentara Jepang karena pengalaman dan kemampuan yang ia dapat selama ia bergabung bersama tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Jusuf Kunto bergabung bersama Badan Keamanan Rakyat. Ia lebih memilih terjun dalam bidang intelijen bersama dengan Zulkifli Lubis. Ia pun pernah menjadi Staf Oemoem I (SO I) pada Markas Besar Tentara (MBT) di Benteng Vredenburg, Yogyakarta. Jusuf Kunto saat itu berpangkat mayor. Mayor Jusuf Kunto sempat memindahkan markas daruratnya dari Yogyakarta ke Pakem pada saat sebelum Agresi Militer Belanda. Ia melakukan penyamaran ketika itu untuk dapat menyampaikan informasi atau bahan obat-obatan serta beberapa kebutuhan lainnya untuk para pejuang di Yogyakarta.
Jusuf Kunto meninggal dunia pada 2 Januari 1949 akibat kelelahan dan sakit radang paru-paru serta kurangnya bantuan medis terhadap dirinya. Saat itu usianya belum genap 28 tahun. Ia akhirnya dimakamkan di pemakaman umum Badran, yang terletak di dekat sebuah kuburan Cina di sebelah barat Stasiun Tugu, Yogyakarta.
Perjuangan Jusuf Kunto dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI memang sangat jarang diungkap secara lebih jelas. Padahal menurut Maroeto Nitimihardjo, salah seorang tokoh pemuda pada masa sekitar proklamasi, Jusuf Kunto adalah seorang tokoh pemuda yang diberi tugas ke sana-kemari, termasuk membawa Soekarno dan Hatta ke Rengas Dengklok lalu membawanya sampai esok subuh ke rumah Laksamana Maeda.